Pada zaman dahulu di desa Ngasem
hidup seorang gadis bernama Endang Sawitri. Penduduk desa tak seorang
pun yang tahu kalau Endang Sawitri punya seorang suami, namun ia hamil.
Tak lama kemudian ia melahirkan dan sangat mengejutkan penduduk karena
yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga
itu bisa berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru
Klinting.
Di usia remaja Baru Klinting
bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini juga mempunyai Ayah?,
siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang raja yang saat ini
sedang bertapa di gua lereng gunung Telomaya. Kamu sudah waktunya
mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah
klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati
Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.
Sampai di pertapaan Baru Klinting
masuk ke gua dengan hormat, di depan Ki Hajar dan bertanya, “Apakah
benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?” Kemudian Ki Hajar
menjawab, “Ya, benar”, saya Ki Hajar Salokantara. Dengan sembah sujud di
hadapan Ki Hajar, Baru Klinting mengatakan berarti Ki Hajar adalah
orang tuaku yang sudah lama aku cari-cari, aku anak dari Endang Sawitri
dari desa Ngasem dan ini Klintingan yang konon kata ibu peninggalan Ki
Hajar. Ya benar, dengan bukti Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku
perlu bukti satu lagi kalau memang kamu anakku coba kamu melingkari
gunung Telomoyo ini, kalau bisa, kamu benar-benar anakku. Ternyata Baru
Klinting bisa melingkarinya dan Ki Hajar mengakui kalau ia benar
anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di
dalam hutan lereng gunung.
Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi
setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam
tarian. Untuk memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan,
namun tidak mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka menemukan
seekor Naga besar yang bertapa langsung dipotong-potong, dagingnya
dibawa pulang untuk pesta. Dalam acara pesta itu datanglah seorang anak
jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan ingin menikmati
hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak itu dari
pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan
memalukan. Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia
bertemu dengan seorang nenek janda tua yang baik hati. Diajaknya mampir
ke rumahnya. Janda tua itu memperlakukan anak seperti tamu dihormati dan
disiapkan hidangan. Di rumah janda tua, anak berpesan, Nek, “Kalau
terdengar suara gemuruh nenek harus siapkan lesung, agar selamat!”.
Nenek menuruti saran anak itu.
Sesaat kemudian anak itu kembali ke pesta mencoba ikut dan meminta
hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga tetap
tidak menerima anak itu, bahkan ditendang agar pergi dari tempat pesta
itu. Dengan kemarahan hati anak itu mengadakan sayembara. Ia menancapkan
lidi ke tanah, siapa penduduk desa ini yang bisa mencabutnya. Tak satu
pun warga desa yang mampu mencabut lidi itu. Akhirnya anak itu sendiri
yang mencabutnya, ternyata lubang tancapan tadi muncul mata air yang
deras makin membesar dan menggenangi desa itu, penduduk semua tenggelam,
kecuali Janda Tua yang masuk lesung dan dapat selamat, semua desa
menjadi rawa-rawa,
karena airnya sangat bening, maka disebutlah “Rawa Pening” yang berada di kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
http://juragansejarah.blogspot.co.id/2014/10/legenda-rawa-pening-lengkap.html
0 komentar:
Posting Komentar